Jakarta, CNN Indonesia —
Pemimpin jemaah Masjid Aolia Mbah Benu menjelaskan terkait istilah telepon Allah usai menjadi perbincangan di media sosial.
Klarifikasi itu dia sampaikan dalam sebuah video. Mbah Benu mengatakan pernyataan soal telepon Allah cuma istilah.
“Terkait pernyataan saya tadi pagi tentang istilah menelepon Allah SWT itu sebenarnya hanya istilah,” kata Mbah Benu.
“Dan, yang sebenarnya adalah perjalanan saya kontak batik dengan Allah,” imbuhnya.
Mbah Benu lantas menyampaikan permintaan maaf jika pernyataan dia menyinggung atau tak berkenan di hati masyarakat.
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak,” ungkap dia.
Pendapat serupa juga terlontar dari anak kelima Mbah Benu, Daud Mastein. Ia mengatakan pernyataan sang ayah hanya kiasan.
Daud menjelaskan bahwa Mbah Benu mengaji hingga melakukan amalan lain untuk menentukan awal dan akhir Ramadan serta 1 Syawal.
“Ya ngaji, ya amalan dan itu merupakan salah satu karomahnya beliau,” kata Daud saat dihubungi, Sabtu (6/4).
Mbah Benu panen perhatian usai merayakan lebaran lebih dulu yakni pada Jumat.
Dalam video yang viral di media sosial, dia menyebut penetapan 1 Syawal tanpa perhitungan dan atas perintah Allah.
“Saya telepon langsung kepada Allah Ta’ala. Ya Allah kemarin tanggal 4 malam 4, Ya Allah ini sudah 29, 1 Syawal kapan? Allah hadirkan, tanggal 5 Jumat. Kalau disalahkan orang bagaimana, ya enggak apa-apa urusan Gusti Allah,” ucap dia.
Usai menjadi perbincangan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) buka suara.
Ketua MUI Asrorun Ni’am menilai pernyataan Mbah Benu merupakan kesalahan sehingga perlu diingatkan.
“Kasus di sebuah komunitas di Gunungkidul itu jelas kesalahan, perlu diingatkan. Bisa jadi dia melakukannya karena ketidaktahuan, maka tugas kita memberi tahu, kalau dia lalai, diingatkan,” kata Ni’am, Sabtu (6/4).
Lebih lanjut, Ni’am menerangkan praktik agama bisa disebut menyimpang jika dilakukan dalam kondisi kesadaran penuh. Menurut dia, jika mengikuti praktik tersebut maka hukumnya haram.
Dia juga menjelaskan penentuan awal dan akhir Ramadan telah ditetapkan oleh syariah. Penerapannya, kata Ni’am, harus berlandaskan ilmu agama dan keahlian.
“Tak boleh hanya berlandaskan pada kejahilan. Bagi yang tidak memiliki ilmu dan keahlian, wajib mengikuti yang punya ilmu dan keahlian,” ungkap dia.
(isa/mik)